sugeng rawuh

SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG RAWUH SUGENG

RESUME CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PRACTICES


STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF, KRITIS DAN KREATIF
YANG DITAWARKAN DALAM PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PRACTICES

Oleh Misbahush Shurur

Dari jurnal
 Ifraj Shamsid-Deen
Columbia Middle School, Dekalb County, Georgia
 
Bettye P. Smith
University of Georgia

Pengembangan metode pembelajaran yang sering menuntut guru untuk bertindak ekstra seharusnya diiringi dengan pengadaan fasilitas belajar yang lengkap agar proses pembelajaran tidak terbentur oleh minimnya fasilitas. Dalam proses pendidikan, fasilitas  tentunya bukan menjadi topik utama untuk meningkatkan mutu belajar, tetapi setidaknya mampu dijadikan sebagai pendamping/ penyeimbang  dalam kegiatan belajar-mengajar. Agar keselarasan dalam pendidikan dapat tertuju sesuai harapan tanpa menyinggung perbedaan atau kesejajaran status sosial. Membandingkan pendidikan pada suatu daerah kecil yang mempunyai jangkauan sarana yang sulit dengan pendidikan pada kelas metropolitan yang terdapat pada satu jenjang dan kesatuan pendidikan yang sama dapat menimbulkan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan. Namun apabila pada sekolah kecil (tradisiolnal) dapat menimbang manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya kegiatan sub-modernisasi pendidikan, pasti kesejajaran pola pengembangan mutu pendidikan antara duanya dapat ternegosiasi dengan baik.

Konsep yang ditawarkan oleh CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PRACTICES setidaknya memberikan angin segar bagi pelaksana pendidikan pada dua alur pendidikan, yaitu pada pendidikan/ sekolah modern dengan sekolah tradisional. Sebab beberapa komponen pembelajaran yang dimiliki oleh CTL mendukung untuk melakukan tindakan belajar yang aktif dan kreatif, tetapi menurut sebagian pengajar menganggap CTL terlalu berat karena terdiri dari beberapa komponen yang masing-masing harus digunakan untuk menguatkan komponen lainnya. Kerjasama antara berbagai komponen CTL, menyeimbangkan komponen-komponen yang membutuhkan keserbabisaan. Sebagai contoh, dalam CTL mempunyai komponen yang mengharuskan pengajar untuk mengenal setiap siswa. Dengan mengenal siswa, kemungkinan guru untuk mewujudkan potensi anak dan membantunya mencapai keunggulan akademik serta menindaklanjutinya dalam dunia nyata/ lingkungan anak. Menurut Lindsay (2000), siswa diharapkan mengingat apa yang telah dipelajari melalui metode pengajaran tradisional, biasanya kuliah, dan menerapkan informasi dalam kondisi yang realistisdalam lingkungannya. Masalah terjadi ketika siswa tidak mampu mengidentifikasi pengetahuan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah di luar konteks yang dipelajari. Ini diyakini bahwa ketika siswa diajarkan dalam konteks yang mirip situasi sebenarnya dimana mereka harus menerapkan informasi, kesempatan yang lebih besar untuk transfer belajar yang akan mereka hadapi.
Seorang pengajar tidak dianjurkan untuk membandingkan masalah keadaan geografis, status sosial, dan prasarana yang dianggap menyulitkan dalam lingkungan pembelajaran. sebab apabila pengajar cenderung mempersoalkan hal tersebut, tentunya proses belajar-mengajar akan taerganggu. Alangkah lebih baiknya apabila seorang pengajar tidak menjadikan masalah klasik tersebut menjadi masalah utama dalam pendidikan, tetapi sebagai pengajar guru setidaknya selalu memberikan mutu dan kuantitas pembelajaran yang baik. CTL akan membantu terjadinya proses pembelajaran yang canggih apabila pengajar memberikaan peran yang positif dalam menangani gejala-gajala yang kurang tepat (cocok) dengan lingkungan kelas atau lingkungan belajar. Meskipun demikian CTL tetap memliki penggemar yang cukup tinggi dikalangan atau dalam dunia pendidikan. Dari perihal tersebut, tampak bahwa pembelajaran CTL berlangsung secara teratur di sebagian besar kelas, keluarga dan masyarakat. Hal ini terjadi terutama pada praktek-praktek siswa yang memiliki sikap aktif di dalamnya, pembelajaran yang berkaitan dengan kehidupan nyata, dan belajar dari satu orang dengan orang lain. Sementara, praktek tersebut tidak eksklusif untuk pembelajaran kontekstual, mereka telah diidentifikasi sebagai karakteristik pembelajaran kontekstual (Sears & Hersh, 1998), dan efektif dalam meningkatkan prestasi siswa (Lynch & Harnish, 2003).
Proses Belajar-mengajar berdasarkan konteks didefinisikan sebagai satu konsep belajar-mengajar dimana antara pembelajaran yang telah diajarkan guru dikelas mempunyai hubungan dengan konten dalam dunia nyata (United States Department of Education Office of Vocational and Adult Education, 2001). Berns dan Erickson (2001) selanjutnya menjelaskan belajar-mengajar berdasarkan konteks sebagai satu intervi inovatif untuk membantu murid dalam menghubungkan konten yang mereka pelajari dimana konten tersebut dapat dipergunakan secara realistis. Jadi, Untuk mengukur tingkat keberhasilan suatu pembelajaran bukan dilihat dari seberapa hebat siswa untuk mengemukakan materi di depan kelas saja, tetapi dapat dilihat dari seberapa jauh siswa menerapkannya dalan lingkungan.
Perlu diingat bahwa pembelajaran CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING PRACTICES mengajarkan pelaku pendidikan untuk bertindak aktif serta berfikir kritis dan kreatif. Menurut beberapa peneliti (Medrich, Calderon, & Hoachlander, 2002), siswa harus menjadi partisipan aktif dalam pembelajaran. Oleh karena itu, ilmu keluarga dan konsumen guru harus terus merencanakan dan memberikan kegiatan yang memenuhi minat siswa dan memenuhi kebutuhan mereka sebagai pengajar. Pembelajaran keterampilan dan pemecahan masalah sangat penting dalam lingkup kelas belajar dan keluarga, agar siswa merasa siap untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi, kemudian mereka dapat mengatasi masalah tersebut dengan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pembelajaran yang bersifat praktek akan membantu siswa untuk belajar menerapkan ilmu yang telah mereka pelajari (Cockrell, Caplow, & Donaldson, 2000). Pengajaran dan pembelajaran CTL dapat dan harus dilihat sebagai sebuah inisiatif dalam keluarga dan konsumen pengetahuan, karena merupakan konsep yang relatif baru dalam pendidikan. Berangkat dari metode ini menunjukkan bahwa keluarga dan sekolah harus mengikuti pola inisiatif baru dalam pendidikan. Temuan ini juga membawa kita untuk percaya bahwa pendidikan keluarga dan sekolah bersifat sangat terbuka dalam menggali pengetahuan untuk mendukung munculnya bakat, ide, dan akademis dalam dunia pendidikan.

INFO PENDIDIKAN

Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan

ARTIKEL NARKOBA

Remaja dan Narkoba

Ada tiga hal yang harus diperhatikan ketika melakukan program anti narkoba di sekolah. Yang pertama adalah dengan mengikutsertakan keluarga. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sikap orangtua memegang peranan penting dalam membentuk keyakinan akan penggunaan narkoba pada anak-anak. Strategi untuk mengubah sikap keluarga terhadap penggunaan narkoba termasuk memperbaiki pola asuh orangtua dalam rangka menciptakan komunikasi dan lingkungan yang lebih baik di rumah. Kelompok dukungan dari orangtua merupakan model intervensi yang sering digunakan.

Apa itu Narkoba


Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan Obat berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini, baik "narkoba" atau napza, mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai resiko kecanduan bagi penggunanya.

Menurut pakar kesehatan narkoba sebenarnya adalah psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu. Namun kini pemanfaatannya disalah gunakan diantaranya dengan pemakaian yang telah diluar batas dosis / over dossis.

Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga jika disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Karena itu Pemerintah memberlakukan Undang-undang (UU) untuk penyalahgunaan narkoba yaitu UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika.

Penyebaran Narkoba di Kalangan Anak-anak dan Remaja


Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para orang tua, ormas,pemerintah khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu meraja rela.

Upaya pemberantas narkoba pun sudah sering dilakukan namun masih sedikit kemungkinan untuk menghindarkan narkoba dari kalangan remaja maupun dewasa, bahkan anak-anak usia SD dan SMP pun banyak yang terjerumus narkoba. Hingga saat ini upaya yang paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan Narkoba pada anak-anak yaitu dari pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasi dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi Narkoba.

Menurut kesepakatan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang juga disepakati Indonesia pada tahun 1989, setiap anak berhak mendapatkan informasi kesehatan reproduksi (termasuk HIV/AIDS dan narkoba) dan dilindungi secara fisik maupun mental. Namun realita yang terjadi saat ini bertentangan dengan kesepakatan tersebut, sudah ditemukan anak usia 7 tahun sudah ada yang mengkonsumsi narkoba jenis inhalan (uap yang dihirup). Anak usia 8 tahun sudah memakai ganja, lalu di usia 10 tahun, anak-anak menggunakan narkoba dari beragam jenis, seperti inhalan, ganja, heroin, morfin, ekstasi, dan sebagainya (riset BNN bekerja sama dengan Universitas Indonesia).

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), kasus pemakaian narkoba oleh pelaku dengan tingkat pendidikan SD hingga tahun 2007 berjumlah 12.305. Data ini begitu mengkhawatirkan karena seiring dengan meningkatnya kasus narkoba (khususnya di kalangan usia muda dan anak-anak, penyebaran HIV/AIDS semakin meningkat dan mengancam. Penyebaran narkoba menjadi makin mudah karena anak SD juga sudah mulai mencoba-coba mengisap rokok. Tidak jarang para pengedar narkoba menyusup zat-zat adiktif (zat yang menimbulkan efek kecanduan) ke dalam lintingan tembakaunya.

Hal ini menegaskan bahwa saat ini perlindungan anak dari bahaya narkoba masih belum cukup efektif. Walaupun pemerintah dalam UU Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 dalam pasal 20 sudah menyatakan bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (lihat lebih lengkap di UU Perlindungan Anak). Namun perlindungan anak dari narkoba masih jauh dari harapan.

Narkoba adalah isu yang kritis dan rumit yang tidak bisa diselesaikan oleh hanya satu pihak saja. Karena narkoba bukan hanya masalah individu namun masalah semua orang. Mencari solusi yang tepat merupakan sebuah pekerjaan besar yang melibatkan dan memobilisasi semua pihak baik pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas lokal. Adalah sangat penting untuk bekerja bersama dalam rangka melindungi anak dari bahaya narkoba dan memberikan alternatif aktivitas yang bermanfaat seiring dengan menjelaskan kepada anak-anak tentang bahaya narkoba dan konsekuensi negatif yang akan mereka terima.

Anak-anak membutuhkan informasi, strategi, dan kemampuan untuk mencegah mereka dari bahaya narkoba atau juga mengurangi dampak dari bahaya narkoba dari pemakaian narkoba dari orang lain. Salah satu upaya dalam penanggulangan bahaya narkoba adalah dengan melakukan program yang menitikberatkan pada anak usia sekolah (school-going age oriented).

Di Indonesia, perkembangan pencandu narkoba semakin pesat. Para pencandu narkoba itu pada umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau usia pelajar. Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian mengalami ketergantungan.

Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkoba


Dampak negatif penyalahgunaan narkoba terhadap anak atau remaja (pelajar) adalah sebagai berikut:

  • Perubahan dalam sikap, perangai dan kepribadian,
  • sering membolos, menurunnya kedisiplinan dan nilai-nilai pelajaran,
  • Menjadi mudah tersinggung dan cepat marah,
  • Sering menguap, mengantuk, dan malas,
  • tidak memedulikan kesehatan diri,
  • Suka mencuri untuk membeli narkoba.
  • Menyebabkan Kegilaan, Pranoid bahkan Kematian !


Upaya Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba


Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba di kalangan pelajar, sudah seyogianya menjadi tanggung jawab kita bersama. Dalam hal ini semua pihak termasuk orang tua, guru, dan masyarakat harus turut berperan aktif dalam mewaspadai ancaman narkoba terhadap anak-anak kita.

Ada tiga hal yang harus diperhatikan ketika melakukan program anti narkoba di sekolah. Yang pertama adalah dengan mengikutsertakan keluarga. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa sikap orangtua memegang peranan penting dalam membentuk keyakinan akan penggunaan narkoba pada anak-anak. Strategi untuk mengubah sikap keluarga terhadap penggunaan narkoba termasuk memperbaiki pola asuh orangtua dalam rangka menciptakan komunikasi dan lingkungan yang lebih baik di rumah. Kelompok dukungan dari orangtua merupakan model intervensi yang sering digunakan.

Kedua, dengan menekankan secara jelas kebijakan tidak pada narkoba. Mengirimkan pesan yang jelas tidak menggunakan membutuhkan konsistensi sekolah-sekolah untuk menjelaskan bahwa narkoba itu salah dan mendorong kegiatan-kegiatan anti narkoba di sekolah. Untuk anak sekolah harus diberikan penjelasan yang terus-menerus diulang bahwa narkoba tidak hanya membahayakan kesehatan fisik dan emosi namun juga kesempatan mereka untuk bisa terus belajar, mengoptimalkan potensi akademik dan kehidupan yang layak.

Terakhir, meningkatkan kepercayaan antara orang dewasa dan anak-anak. Pendekatan ini mempromosikan kesempatan yang lebih besar bagi interaksi personal antara orang dewasa dan remaja, dengan demikian mendorong orang dewasa menjadi model yang lebih berpengaruh.

Oleh sebab itu, mulai saat ini pendidik, pengajar, dan orang tua, harus sigap serta waspada, akan bahaya narkoba yang sewaktu-waktu dapat menjerat anak-anak sendiri. Dengan berbagai upaya tersebut di atas, mari kita jaga dan awasi anak didik dari bahaya narkoba tersebut, sehingga harapan untuk menelurkan generasi yang cerdas dan tangguh di masa yang akan datang dapat terealisasikan dengan baik.***



Penulis : Umu Chosiyah

Mahasiswi program studi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi
Universitas Negeri Bangka Belitung